Kamis, 24 Juni 2010

Desainer Sosial


Di hari itu aku sungguh sangat capai karena kerjaanku yang tidak kunjung selesai apalagi ditambah tugas kuliah yang masih menunggu kusentuh. ”Gimana bisa cepet selesai, ketemu yang mo dibikin featurenya aja belom” ujarku kepada seorang teman ketika ia menanyaiku tugas sebuah mata kuliah. Setelah saling berkirim pesan kepada temanku sekelompok, akhirnya aku pergi ke kostnya untuk mengerjakan tugas itu. Aku yang datang dengan lemas dan malas tiba-tiba disapa oleh seseorang dengan sebuah celana pendek batik, baju hitam bergambar serta rambut yang sedikit berwarna terurai lurus. Gadis yang memilih penjurusan Advertising dan PR menemuiku di depan kostnya. Perawakannya yang sangat santai serta ramah menyapaku untuk segera menuju ke ruang tamu kostnya yang berada di Jl. UKDW no.18 Seturan, Yogyakarta. Ditemani sebuah laptop berwarna abu- abu, sebuah buku saku dan pulpen kami segera memulai perbincangan.



Disore itu aku hanya bisa termangu dan tertegun malihat seorang gadis yang masih muda dibandingkan denganku saat ia mulai berkata dan mengucap jawaban atas pertanyaan – pertanyaanku. Parasnya yang lugu dan terkesan lucu itu ternyata hanya sebuah sampul dari lemari buku yang tersimpan di rapih di otaknya. Detail dan argumentasi yang mungkin sudah aku ragukan akan disinggungnya ternyata lugas dijabarkan demi sebuah pertanyaan, tak jarang dalam sebuah pertanyaan kami bisa berbincang hingga beberapa menit. Sungguh gadis kelahiran 29 Januari 1991 di Surakarta ini menepis sebuah hipotesaku dari angkatan terbaru.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini mungkin memang benar jalannya untuk meneruskan studi ke Universitas Atma Jaya dengan Fakultas Ilmi Sosial dan Ilmu Politik dibandingkan apa yang sebenarnya ia inginkan, Esmod Jakarta, sebuah universitas yang dikhususkan untuk para perancang busana. Memang dari awal ia bersekolah khususnya saar ia berada di SD Petra, ia memang sudah memiliki bakat merancang busana terlihat dari gambar yang dulu laku keras ia jual dengan harga Rp 100 walau hanya digoreskan pada sebuah kertas tulis yang ia bubuhi  warna untuk menambah daya tarik. Walaupun demikian, gadis yang saat SMA pernah bekerja di sebuah radio swasta ini tidak pernah mengecewakan orang tuanya yang memilihkan jurusan kuliah ini. Nilai yang diperoleh untuk semester pertamany cukup memuaskan walaupun ia masih merasa tidak puas karena latar belakang sekolahnya yang selalu masuk dalam 10 besar kelas.
Karin Eka Timesa, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya kepada gadis yang memiliki garis keturunan Arab dari kakeknya ini. Pemilihan nama gadis yang memiliki hobi berenang dan basket ini tidak sembarangan, kata dalam bahasa Yunani menjadi acuannya. Karin dan Timesa yang berarti anugerah serta Eka yang berasal dari kata ekawu yang berarti yang saya miliki. Nama Eka Timesa sendiri ternyata menjadi nama keluarga bagi keluarga ini. “Setiap anak dari keluarga ini memiliki kata Eka Timesa mulai dari kakakku Mesakh Eka Timesa, Mario Eka Timesa dan adikku Yoshua Eka Timesa” katanya.



Gadis yang bersekolah di SMA Katholik Santo Agustinus Kediri ini mmengisi waktu luangnya dengan beberapa cara salah satunya adalah dengan membaca dan tidur. Ia mengakui jika akhir-akhir ini ia merasa moody saat harus membaca, ia dapat menyelesaikan sebuah buku tebal dalam 3 hari saat ia bersemangat membaca namun ia dapat menghabiskan waktu hampir dua atau tiga bulan untuk membaca sebuah buku saat ia merasa kehilangan moodnya. Memang tidak semua buku ia gemari, gadis yang beragama Kristen ini menyukai teenlit karena ceritanya yang ringan. Ia pun menobatkan Primadona Angela sebagai penulis teenlit favoritnya karena bahasanya yang mudah dicerna serta penokohan, alur dan detail yang dapat membawa pembaca masuk ke alam cerita. Selain itu gadis penggemar warna biru ini sedang senang jalan jalan keliling kota untuk menonton film di bioskop dan menjelajahi mall yan ada di Yogyakarta dan ia menyadari jika kota yang sedang ia singgahi ini sangatlah kecil. Hal tesebut dapat dibuktikan dari setiap tempat yang berdekatan jaraknya, berbeda dengan kota asalnya yang dari satu tempat ke tempat yang lain harus ditempuh dalam waktu yang cukup lama.
Karin yang dulu bercita-cita sebagai seorang desainer ini memiliki sahabat  yang selalu ada di dekatnya karena TK, SD, dan SMP ia berada pada satu yayasan, Petra namun saat kuliah dan SMA ia harus berpisah dengan sahabatnya namun ridak dengan salah satu sahabatnya yang bernama Mega Latu. Ia dan Mega ternyata tidak terpisahkan sejak TK hingga kuliah ini. Walaupun sudah memiliki teman dekat ia tidak pernah mencari teman, ramah tegur sapa dan pengetahuannya membuat perbincangan kami tidak terputus sejak awal hingga akhir. Mulai dari seputar kampus hingga Nasriel Irha. Gadis yang lahir prematur ini ternyata memiliki pemikiran yang tidak setengah setengah tentang segala penilaiannya. Semua argumentasinya tersusun rapi dengan berbagai sudut pandangnya semua itu terlihat dari percakapan kami mengenai kampus dan mahasiswanya.
Bagiku Karin adalah salah satu dari duaratusan angkatan 2009 yang mungkin telat menyentuh dunia kuliah karena kekritisannya dan hobinya yang tidak terwadahi oleh angkatannya. Saat aku mencoba sharing mengenai penilaianku kepada angkatannya, dia ternyata banyak memiliki pemikiran yang sama denganku. “Iya, aku juga berpikir seperti itu dan aku mulai bisa melihat itu sejak aku diinisiasi. Banyak anak angkatanku yang cuma sekedar bertanya, bukan karena mereka kritis namun hanya berkesan mengetes dosen.” Katanya melihat apa yang terjadi di salah satu kelas yang ia ikuti selama semester pertama ia berkuliah. 
Waktu sudah semakin larut dan kami berdua kebetulan memiliki janji sehingga kami harus mengakhiri tanya jawab kami. Aku yang harus menjenguk temanku yang melahirkan dan karin yang harus pergi untuk makan dengan pacarnya, Aldo. Walaupun baru berjalan beberapa minggu namun dari sedikit  cerita yang Karin berikan ia cukup terlihat serius dengan kisah cintanya. Akhirnya semua ditutup dengan kata selamat tinggal dan sebuah senyum dari kami..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar